Tafsir
Surat Hud ayat 84-85
Tentang
pengurangan takaran dan timbangan
Dalam sistem bisnis
yang sederhana, alat timbangan atau takaran memainkan peranan penting sebagai
alat bagi keberlangsungan suatu transaksi antara si penjual barang dan pembeli,
yang barang tersebut bersifat material. Untuk mendukung sistem ini kemudian
dikenal ukuran – ukuran tertentu seperti ukuran berat jenis dari ons hingga
ton, dan takaran literan. Pada kenyataannya, tidak sedikit penjual yang
menggunakan alat timbangan atau takaran karena bertujuan mencari keuntungan
dengan cepat, mereka melakukan kecurangan dalam timbangan atau takaran. Dalam
al – Qur’an secara tegas tidak membenarkan dan membenci perilaku ini dengan
menyebutnya sebagai orang – orang yang curang.[1] Sebagaimana firman Allah Swt
:
Surat Hud ayat 84-85
* 4n<Î)ur tûtïôtB óOèd%s{r& $Y6øyèä© 4 tA$s% ÉQöqs)»t (#rßç7ôã$# ©!$# $tB Nà6s9 ô`ÏiB >m»s9Î) ¼çnçöxî ( wur (#qÝÁà)Zs? tA$uò6ÏJø9$# tb#uÏJø9$#ur 4 þÎoTÎ) Nà61ur& 9ös¿2 þÎoTÎ)ur ß$%s{r& öNà6øn=tæ z>#xtã 5Qöqt 7ÝÏtC ÇÑÍÈ ÏQöqs)»tur (#qèù÷rr& tA$uò6ÏJø9$# c#uÏJø9$#ur ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( wur (#qÝ¡yö7s? }¨$¨Z9$# öNèduä!$uô©r& wur (#öqsW÷ès? Îû ÇÚöF{$# tûïÏÅ¡øÿãB ÇÑÎÈ
84. dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami
utus) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran
dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu)
dan Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan
(kiamat)."
85. Dan
Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan
adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan
janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
- Gambaran Umum
Ada dua hal yang disampaikan Nabi Syu’aib kepada kaum
Madyan, pertama Allah yang Esa, tidak ada tuhan selain Dia dan menyembah
kepadaNya. Kedua kejujuran dalam sistem ekonomi yaitu tidak mengurangi atau
menambah takaran dan timbangan akan tetapi menyempurnakan takaran dan timbangan
tersebut. Selanjutnya dengan prilaku tersebut mengambil hak-hak orang lain
sehingga mengurangnya kepercayaan dan kejujuran sehingga berakibat terhadap
kehancuran segala sistem kehidupan dimuka bumi baik dalam lingkungan dalam
negeri atau dalam lingkungan luar negeri.
- Tafsir kosa kata
Kata khair (ös ) artinya baik, namun makna
jika makna dari kata tersebut diperluas sehingga tidak terbatas pada rezeki
yang bersifat material tetapi juga rohani. Dalam arti sehat pikiran dan luas
pengetahuannya. Sehingga makna dari kalimat 9ös¿2 Nà61ur&ÎoTÎ) adalah
pandangan nabi Syu’aib dengan pandangan positif. Dalam tafsir jalalain
disebutkan maksud dari kalimat diatas adalah kondisi kejujuran sosial atau
ekonomi, tidak menganiaya hak orang lain.[2]
Dalam tafsir al-maragi, keadaan baik yang dimaksud dalam
ayat diatas adalah keadaan cukup kaya dan luas rezeki sehingga tidak perlu mengambil
hak-hak orang lain dan memakan harta orang lain dengan cara batil yaitu dengan
mengurangi barang yang dijual ketika menakar atau menimbang.[3]
Memang sudah menjadi
kebiasaan para Nabi bahwa mereka memulai dakwahnya dengan mengajak kepada
tauhid. Karena mengesakan Allah adalah akar pokok keimanan. Setelah itu barulah
mereka mengajak kepada perkara yang mereka anggap terpenting, kemudian perkara
terpenting berikutnya yang dilakukan oleh kaum mereka masing-masing. Oleh
karena itu, Nabi Syu’aib itupun melanjutkan dakwahnya dengan melarang menipu takaran dan timbangan,
karena kaum Madyan memang biasa melakukan hal itu.[4]
Kepercayaan (tauhid ) kepada Allah SAW. dengan kejujuran
kepada sesama manusia bisa terasa dengan memperhatikan surat ar-Rahman, pada
ayat 7 diterangkan bahwasanya langit diangkatkan oleh Allah lalu Allah
meletakkan Mizaan, yaitu timbangan yang sama berat pada ala mini, pada
langit dan segala cakrawala, agar supaya kamu manusia jangan berlaku curang
pada timbangan (ayat 8) dan hendaklah mendirikan pertimbangan itu dengan adil
dan jangan merugikan orang lain (ayat 9), karena bumi ini dihamparkan oleh
Allah ialah tempat berdiamnya manusia (ayat 10).[5]
Larangan mengurangi takaran dan timbangan yang merupakan
perbuatan curang atau penipuan telah tercantum dalam firman surat al-mutaffifin
ayat 1-3:
×@÷ur tûüÏÿÏeÿsÜßJù=Ïj9 ÇÊÈ tûïÏ%©!$# #sÎ) (#qä9$tGø.$# n?tã Ĩ$¨Z9$# tbqèùöqtGó¡o ÇËÈ #sÎ)ur öNèdqä9$x. rr& öNèdqçRy¨r tbrçÅ£øä ÇÌÈ
kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
Mereka
memang para pedagang yang curang bila menerima takaran dari orang lain. Mereka
minta dipenuhi, tapi apabila menakar
atau menimbang untuk orang lain, maka mereka mengurangi takaran dan
timbangan.
Jadi jelaslah dari ayat ini bahwa
ciri orang yang curang. Pertama, timbangan atau takaran dipenuhi ketika
menerima barang. Kedua, takaran dan timbangan dikurangi ketika mengeluarkan
barang. Perbuatan ini juga merupakan kekufuran terhadap nikmat yang telah Allah
SAW. berikan, karena semestinya kalian wajib mensyukurinya dengan cara memberi
tambahan sebagai sedekah dan kebajikan.[6]
Sebagaiman janji Allah barang siapa yang mensyukuri atas nikmat yang telah Allah
berikan kepada kita, maka Allah akan menambah nikmat tersebut. Tetapi ketika
nikmat tersebut kita kufuri maka Allah SAW. sangat mudah mengazabnya dengan
azab yang sangat pedih.
Sejalan dengan janji Allah
diatas dan apa yang seharusnya dilakukan sebagai bentuk syukur, maka Nabi
Syu’aib as menghawatirkannya yakni dalam ungkapannya:
“Azab
Allah akan benar-benar datang kemusyrikan terus dilakukan dengan menyembah
selain Allah SAW. dan mengkufuri nikmat yang Allah SAW. berikan dengan
mengurangi takaran dan timbangan”.
Siksa atau azab yang dimaksud diatas akan terjadi antara
lain berupa kecemasan dan kejengkelan yang menimbulkan perselisihan dan
permusuhan yang meliputi semua manusia, yaitu ketika kecurangan merajalela baik
dalm sistem ekonomi maupun dalam butuk yang lain.
Dalam tafsir Al-Qurthubi disebutkan maksud dari azab
tersebut adalah naiknya harga barang dan kekeringan yang melanda daerah
tersebut. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.
:
ما أظهرَ قومٌ البَحْسَ في المِكْيَلِ
والمِيْزَانِ إِلاَّإِبْتَلاَهُمُ اللهُ بالقَحْطِ والغَلاَءِ
“Tidaklah sebuah kaum itu menampakkan kecurangan dalam
timbangan dan takaran kecuali Allah swt akan menimpakan kepada mereka (azab)
kekeringan dan naiknya harga.”[7]
Setelah Nabi Syu’aib menyeruhkan kaum Madyan dengan larangan
mengurangi takaran dan timbangan. Sebagai penguat maka Nabi Syu’aib menyerukan
kembali dengan menyempurnakan takaran dan timbangan dengan adil.[8]
Kata al-qisth (الْقِسْطِ) diartikan adil, sinonim dari kata al-‘adlu.
Memang, banyak ulama yang mempersamakn maknanya namun ada yang membedakan kedua
kata tersebut, bahwa kata al-qisth berlaku adil antara dua orang atau
lebih, keadilan yang menjadikan masing-masing senang. Sedangkan al-‘adlu
adalah berlaku adil terhadap oang lain maupun pada diri sendiri, tetapi
keadilan itu bisa saja tidak menyenagkan salah satu pihak. Jadi timbangan dan
takaran harus menyenangkan kedua belah pihak.
Kata tabkhasu/ kamu
kurangi terambil dari kata bakhs yang
berarti kekurangan akibat kecurangan. Ibn ‘Arabi, sebagaimana dikutip oleh Ibn ‘Asyur,
mendefinisikan kata ini dalam arti pengurangan dalam bentuk mencela, atau
memperburuk sehingga tidak disenangi, atau penipuan dalam nilai, atau
kecurangan dalam timbangan dan takaran deengan melebihkan ataumengurangi.
Kata ta’tsaw.(تعثوا). diambil dari kata ‘atsa’(عثاء) dan ‘atsa,(عاث) artinya perusakan atau bersegera
melakukan perusakan. Penggunaan kata tersebut di sini bukan berarti jangan
bersegera dapat ditoleransi, tetapi maksudya adalah jangan melakukan perusakan
dengan sengaja. Sehingga penggunaan kata ini mengisyaratkan bahwa kesegeraan
akibat mengikuti hawa nafsu tidak akan berhasil kecuali kerusakan.[9]
KESIMPULAN
Sangatlah jelas bahwa perilaku pengurangan takaran atau timbangan
temasuk jenis praktek mal bisnis karena terdapat unsur penipuan dengan sengaja
mengurangi hak orang lain. Mal bisnis jenis ini bersifat potensial terutama
dalam bisnis, hal ini terlihat dari ancaman Al – Qur’an. Dalam bisnis modern
media takaran dan timbangan sudah sedemikian rupa bentuk dan ragamnya. Meskipun
demikian yang menjadi problem moral dalam bisnis bukan terletak pada media
takaran maupun timbangannya, melainkan pada eksistensi kecurangan yang dengan sengaja
dilakukan baik demi tujuan keuntungan bisnis maupun tujuan – tujuan lainnya.
Nabi Syu’aib as diutus oleh Allah kepada kaum Madyan yang pada
dasarnya memiliki kehidupan yang berkecukupan dan kaya raya. Seharusnya mereka
tidak perlu melakukan kecurangan dengan mengurangi takaran dan timbangan. Perbuatan
tersebut merupakan pengambilan hak orang lain serta membuat kerusakan di muka
bumi.
Dari kisah kaum Madyan ini bisa diambil beberapa hukum yang
tetap berlaku sampai sekarang. Diantara hukum-hukum tersebut adalah:
1. Wajib menyempurnakan timbangan dan
takaran sebagaimana mestinya.
2. Haram mengambil hak orang lain,
dengan cara dan jalan apa saja. Baik hak tersebut milik perseorangan atau milik
orang banyak seperti harta pemerintah dan perusahaan.
3.
Haram
berbuat sesuatu yang bersifat merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman
di muka bumi, seperti mencopetan, mencuri, merampok, korupsi, menteror dan
lain-lain.(10)
CATATAN
KAKI
[1] www.SaltieK' Blog.htm,
Jenis-Jenis Praktek Malbisnis( Diakses tanggal 28 Maret 2012, 13:00 WIB.
[2].
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 5 (Jakarta, Lentera hati: 2002
), hlm. 313
[3].
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, terj. Anshori
Umar ( Semarang. Toha Putra: 1993) hlm 133
[4] Ahmad Musthafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz
10,11,12(Semarang, Toha Putra : 1992) hlm 132
[5].
Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, juz XII( Jakarta, PT Pustaka Panjimas :
1984) hlm 105
[6].
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, Juz 10,11,12, (Semarang, Toha Putra : 1992)hlm 132
[7].
Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, Tafsir Al-Qurthubi, juz 9(Jakarta, Pustaka
Azzam: 1994), hlm 192
[8].
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, Juz 10,11,12, (Semarang, Toha Putra : 1992) hlm 133
[9].
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol 5(Jakarta, Lentera Hati :
2002), hlm 714-715
[10].
Kementrian Agama, Al-Qur’an & Tafsirnya, jilid IV, Juz 12,(
Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
hlm 457
No comments:
Post a Comment