Search This Blog

Wednesday, May 22, 2013

Pengurangan Takaran dan Timbangan


Tafsir Surat Hud ayat 84-85
Tentang pengurangan takaran dan timbangan

Dalam sistem bisnis yang sederhana, alat timbangan atau takaran memainkan peranan penting sebagai alat bagi keberlangsungan suatu transaksi antara si penjual barang dan pembeli, yang barang tersebut bersifat material. Untuk mendukung sistem ini kemudian dikenal ukuran – ukuran tertentu seperti ukuran berat jenis dari ons hingga ton, dan takaran literan. Pada kenyataannya, tidak sedikit penjual yang menggunakan alat timbangan atau takaran karena bertujuan mencari keuntungan dengan cepat, mereka melakukan kecurangan dalam timbangan atau takaran. Dalam al – Qur’an secara tegas tidak membenarkan dan membenci perilaku ini dengan menyebutnya sebagai orang – orang yang curang.[1] Sebagaimana firman Allah Swt :
Surat Hud ayat 84-85
* 4n<Î)ur tûtïôtB óOèd%s{r& $Y6øyèä© 4 tA$s% ÉQöqs)»tƒ (#rßç7ôã$# ©!$# $tB Nà6s9 ô`ÏiB >m»s9Î) ¼çnçŽöxî ( Ÿwur (#qÝÁà)Zs? tA$uò6ÏJø9$# tb#uÏJø9$#ur 4 þÎoTÎ) Nà61ur& 9Žösƒ¿2 þÎoTÎ)ur ß$%s{r& öNà6øn=tæ z>#xtã 5Qöqtƒ 7ÝÏtC ÇÑÍÈ   ÏQöqs)»tƒur (#qèù÷rr& tA$uò6ÏJø9$# šc#uÏJø9$#ur ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur (#qÝ¡yö7s? }¨$¨Z9$# öNèduä!$uô©r& Ÿwur (#öqsW÷ès? Îû ÇÚöF{$# tûïÏÅ¡øÿãB ÇÑÎÈ 

84. dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)."
85. Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
  1. Gambaran Umum
Ada dua hal yang disampaikan Nabi Syu’aib kepada kaum Madyan, pertama Allah yang Esa, tidak ada tuhan selain Dia dan menyembah kepadaNya. Kedua kejujuran dalam sistem ekonomi yaitu tidak mengurangi atau menambah takaran dan timbangan akan tetapi menyempurnakan takaran dan timbangan tersebut. Selanjutnya dengan prilaku tersebut mengambil hak-hak orang lain sehingga mengurangnya kepercayaan dan kejujuran sehingga berakibat terhadap kehancuran segala sistem kehidupan dimuka bumi baik dalam lingkungan dalam negeri atau dalam lingkungan luar negeri.
  1.   Tafsir kosa kata
Kata khair (Žösƒ  ) artinya baik, namun makna jika makna dari kata tersebut diperluas sehingga tidak  terbatas pada rezeki yang bersifat material tetapi juga rohani. Dalam arti sehat pikiran dan luas pengetahuannya. Sehingga makna dari kalimat   9Žösƒ¿2 Nà61ur&ÎoTÎ)  adalah pandangan nabi Syu’aib dengan pandangan positif. Dalam tafsir jalalain disebutkan maksud dari kalimat diatas adalah kondisi kejujuran sosial atau ekonomi, tidak menganiaya hak orang lain.[2]
Dalam tafsir al-maragi, keadaan baik yang dimaksud dalam ayat diatas adalah keadaan cukup kaya dan luas rezeki sehingga tidak perlu mengambil hak-hak orang lain dan memakan harta orang lain dengan cara batil yaitu dengan mengurangi barang yang dijual ketika menakar atau menimbang.[3]
Memang sudah menjadi kebiasaan para Nabi bahwa mereka memulai dakwahnya dengan mengajak kepada tauhid. Karena mengesakan Allah adalah akar pokok keimanan. Setelah itu barulah mereka mengajak kepada perkara yang mereka anggap terpenting, kemudian perkara terpenting berikutnya yang dilakukan oleh kaum mereka masing-masing. Oleh karena itu, Nabi Syu’aib itupun melanjutkan dakwahnya  dengan melarang menipu takaran dan timbangan, karena kaum Madyan memang biasa melakukan hal itu.[4]
Kepercayaan (tauhid ) kepada Allah SAW. dengan kejujuran kepada sesama manusia bisa terasa dengan memperhatikan surat ar-Rahman, pada ayat 7 diterangkan bahwasanya langit diangkatkan oleh Allah lalu Allah meletakkan Mizaan, yaitu timbangan yang sama berat pada ala mini, pada langit dan segala cakrawala, agar supaya kamu manusia jangan berlaku curang pada timbangan (ayat 8) dan hendaklah mendirikan pertimbangan itu dengan adil dan jangan merugikan orang lain (ayat 9), karena bumi ini dihamparkan oleh Allah ialah tempat berdiamnya manusia (ayat 10).[5]
Larangan mengurangi takaran dan timbangan yang merupakan perbuatan curang atau penipuan telah tercantum dalam firman surat al-mutaffifin ayat 1-3: 
×@÷ƒur tûüÏÿÏeÿsÜßJù=Ïj9 ÇÊÈ   tûïÏ%©!$# #sŒÎ) (#qä9$tGø.$# n?tã Ĩ$¨Z9$# tbqèùöqtGó¡o ÇËÈ   #sŒÎ)ur öNèdqä9$x. rr& öNèdqçRy¨r tbrçŽÅ£øƒä ÇÌÈ  
kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
Mereka memang para pedagang yang curang bila menerima takaran dari orang lain. Mereka minta dipenuhi, tapi apabila menakar  atau menimbang untuk orang lain, maka mereka mengurangi takaran dan timbangan.
Jadi jelaslah dari ayat ini bahwa ciri orang yang curang. Pertama, timbangan atau takaran dipenuhi ketika menerima barang. Kedua, takaran dan timbangan dikurangi ketika mengeluarkan barang. Perbuatan ini juga merupakan kekufuran terhadap nikmat yang telah Allah SAW. berikan, karena semestinya kalian wajib mensyukurinya dengan cara memberi tambahan sebagai sedekah dan kebajikan.[6] Sebagaiman janji Allah barang siapa yang mensyukuri atas nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, maka Allah akan menambah nikmat tersebut. Tetapi ketika nikmat tersebut kita kufuri maka Allah SAW. sangat mudah mengazabnya dengan azab yang sangat pedih.
Sejalan  dengan janji Allah diatas dan apa yang seharusnya dilakukan sebagai bentuk syukur, maka Nabi Syu’aib as menghawatirkannya yakni dalam ungkapannya:
“Azab Allah akan benar-benar datang kemusyrikan terus dilakukan dengan menyembah selain Allah SAW. dan mengkufuri nikmat yang Allah SAW. berikan dengan mengurangi takaran dan timbangan”.
Siksa atau azab yang dimaksud diatas akan terjadi antara lain berupa kecemasan dan kejengkelan yang menimbulkan perselisihan dan permusuhan yang meliputi semua manusia, yaitu ketika kecurangan merajalela baik dalm sistem ekonomi maupun dalam butuk yang lain.
Dalam tafsir Al-Qurthubi disebutkan maksud dari azab tersebut adalah naiknya harga barang dan kekeringan yang melanda daerah tersebut. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. :
ما أظهرَ قومٌ البَحْسَ في المِكْيَلِ والمِيْزَانِ إِلاَّإِبْتَلاَهُمُ اللهُ بالقَحْطِ والغَلاَءِ
Tidaklah sebuah kaum itu menampakkan kecurangan dalam timbangan dan takaran kecuali Allah swt akan menimpakan kepada mereka (azab) kekeringan dan naiknya harga.”[7]

Setelah Nabi Syu’aib menyeruhkan kaum Madyan dengan larangan mengurangi takaran dan timbangan. Sebagai penguat maka Nabi Syu’aib menyerukan kembali dengan menyempurnakan takaran dan timbangan dengan adil.[8]
Kata al-qisth (الْقِسْطِ) diartikan adil, sinonim dari kata al-‘adlu. Memang, banyak ulama yang mempersamakn maknanya namun ada yang membedakan kedua kata tersebut, bahwa kata al-qisth berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan masing-masing senang. Sedangkan al-‘adlu adalah berlaku adil terhadap oang lain maupun pada diri sendiri, tetapi keadilan itu bisa saja tidak menyenagkan salah satu pihak. Jadi timbangan dan takaran harus menyenangkan kedua belah pihak.
Kata tabkhasu/ kamu kurangi terambil dari kata bakhs yang berarti kekurangan akibat kecurangan. Ibn ‘Arabi, sebagaimana dikutip oleh Ibn ‘Asyur, mendefinisikan kata ini dalam arti pengurangan dalam bentuk mencela, atau memperburuk sehingga tidak disenangi, atau penipuan dalam nilai, atau kecurangan dalam timbangan dan takaran deengan melebihkan ataumengurangi.
Kata ta’tsaw.(تعثوا). diambil dari kata ‘atsa’(عثاء) dan ‘atsa,(عاث) artinya perusakan atau bersegera melakukan perusakan. Penggunaan kata tersebut di sini bukan berarti jangan bersegera dapat ditoleransi, tetapi maksudya adalah jangan melakukan perusakan dengan sengaja. Sehingga penggunaan kata ini mengisyaratkan bahwa kesegeraan akibat mengikuti hawa nafsu tidak akan berhasil kecuali kerusakan.[9]

KESIMPULAN

Sangatlah jelas bahwa perilaku pengurangan takaran atau timbangan temasuk jenis praktek mal bisnis karena terdapat unsur penipuan dengan sengaja mengurangi hak orang lain. Mal bisnis jenis ini bersifat potensial terutama dalam bisnis, hal ini terlihat dari ancaman Al – Qur’an. Dalam bisnis modern media takaran dan timbangan sudah sedemikian rupa bentuk dan ragamnya. Meskipun demikian yang menjadi problem moral dalam bisnis bukan terletak pada media takaran maupun timbangannya, melainkan pada eksistensi kecurangan yang dengan sengaja dilakukan baik demi tujuan keuntungan bisnis maupun tujuan – tujuan lainnya.
Nabi Syu’aib as diutus oleh Allah kepada kaum Madyan yang pada dasarnya memiliki kehidupan yang berkecukupan dan kaya raya. Seharusnya mereka tidak perlu melakukan kecurangan dengan mengurangi takaran dan timbangan. Perbuatan tersebut merupakan pengambilan hak orang lain serta membuat kerusakan di muka bumi.
Dari kisah kaum Madyan ini bisa diambil beberapa hukum yang tetap berlaku sampai sekarang. Diantara hukum-hukum tersebut adalah:
1.     Wajib menyempurnakan timbangan dan takaran sebagaimana mestinya.
2.     Haram mengambil hak orang lain, dengan cara dan jalan apa saja. Baik hak tersebut milik perseorangan atau milik orang banyak seperti harta pemerintah dan perusahaan.
3.      Haram berbuat sesuatu yang bersifat merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman di muka bumi, seperti mencopetan, mencuri, merampok, korupsi, menteror dan lain-lain.(10)


CATATAN KAKI
[1] www.SaltieK' Blog.htm, Jenis-Jenis Praktek Malbisnis( Diakses tanggal 28 Maret 2012, 13:00 WIB.
[2]. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol 5 (Jakarta, Lentera hati: 2002 ), hlm. 313
[3]. Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, terj. Anshori Umar ( Semarang. Toha Putra: 1993) hlm 133
[4]  Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 10,11,12(Semarang, Toha Putra : 1992) hlm 132           
[5]. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, juz XII( Jakarta, PT Pustaka Panjimas : 1984) hlm 105
[6]. Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 10,11,12, (Semarang, Toha Putra : 1992)hlm 132
[7]. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, Tafsir Al-Qurthubi, juz 9(Jakarta, Pustaka Azzam: 1994), hlm 192
[8]. Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 10,11,12, (Semarang, Toha Putra : 1992) hlm 133
[9].  M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol 5(Jakarta, Lentera Hati : 2002), hlm 714-715
[10].  Kementrian Agama, Al-Qur’an & Tafsirnya, jilid IV, Juz 12,( Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
 hlm 457


No comments:

Post a Comment